Categories
Kegiatan

Setengah Hati Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam UU TPKS

Jakarta, 18 April 2022

LBH APIK Jakarta bersama SAFEnet mengapresiasi atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi sebuah Undang-Undang
dalam rapat Paripurna DPR RI antara DPR bersama Pemerintah pada Selasa, 12 April 2022
lalu.

Namun, kami menilai perlindungan hukum yang disediakan untuk korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik masih setengah hati. Pengaturan KSBE belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan oleh lembaga layanan.

UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan. Demikian pun, kami mencatat ada persoalan lain yang perlu diperhatikan, yakni tidak diaturnya secara spesifik mengenai perkosaan dan pemaksaan aborsi, serta pelindungan dan jaminan hukum bagi korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), atau yang biasa dikenal juga dengan istilah kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta setidaknya dalam kurun 4 tahun terakhir dari 2018-2021, telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis online (KSBO). SAFEnet sendiri mendokumentasikan 1.357 aduan kasus KBGO dari 2019-2021. Catatan ini tak berbeda jauh dari Komnas Perempuan yang mencatat 2.625 kasus KBGO dari tahun 2017-2020, yang selalu menunjukkan peningkatan jumah aduan dari tahun ke tahun. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2018-2020 melaporkan ada sebanyak 679 kasus kekerasan seksual berbasis online terhadap anak-anak dengan mayoritas korbannya anak perempuan. Data-data ini menegaskan bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan saja terfasilitasi tetapi beralih wujud dengan bantuan teknologi digital, mengingat pola patriarki dan relasi kuasa menjadi persoalan utama sesungguhnya.

Dampaknya adalah perempuan dan anak rentan menjadi korban, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali sehingga membuat korban mengalami trauma berkepanjangan yang berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi, hingga hak-hak sipil dan politiknya, termasuk juga mendapatkan stigma sosial.

Di dalam UU TPKS, KSBE diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) yang terkait dengan tindak pidana berupa perekaman/penggambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi/dokumen elektronik yang bermuatan seksual, juga penguntitan atau pelacakan yang menggunakan sistem elektronik pada orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, baik dengan pemerasan, pengancaman, atau memaksa, juga menyesatkan/memperdaya seseorang.

Namun, pengaturan KSBE belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan oleh lembaga layanan. Dari 9 bentuk KSBO yang pernah ditangani oleh LBH APIK Jakarta, masih ada 7 bentuk yang belum bisa terakomodir melalui UU TPKS, yakni Pembuatan Materi/Informasi Elektronik yang bernuansa seksual tanpa dikehendaki, Modifikasi materi/informasi yang bernuansa seksual, Penjualan materi/informasi elektronik yang bernuansa seksual, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual dan Perundungan Seksual berbasis elektronik. Senada dengan LBH APIK Jakarta, dari 14 bentuk KBGO yang diidentifikasi SAFEnet sepanjang 2021, bentuk seperti morphing (pengeditan/modifikasi) informasi/dokumen elektronik menjadi yang bermuatan seksual; atau doxing (penyebaran data pribadi) dengan nuansa atau muatan seksual; atau phishing (upaya rekaya sosial untuk mendapatkan data pribadi atau yang informasi yang sensitif) untuk tujuan melakukan kekerasan seksual belum terakomodir melalui pasal tersebut.

Selain itu, catatan refleksi kondisi penanganan kasus KSBO pada tahun 2021 oleh LBH APIK Jakarta terlihat kerangka hukum yang ada masih belum berpihak kepada korban, terutama ditemukan pengaturan yang terbatas dalam perundang-undangan mengenai KSBO, yang cenderung berpotensi mengkriminalisasi korban, misalnya pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE tentang larangan distribusi, transmisi dan dapat membuat diakses muatan kesusilaan. Belum adanya pasal pengakuan (bridging article) dalam UU TPKS yang menjamin tindak pidana KSBE wajib diproses dengan UU TPKS dan bukan pasal 27 ayat (1) UU ITE membuat pelindungan bagi kelompok rentan tidak akan optimal.

Oleh sebab itu, LBH APIK Jakarta dan SAFEnet mendorong kepada:

  1. Pemerintah Pusat membuat aturan teknis pelaksana UU TPKS dengan memperhatikan upaya pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan;
  2. Pemerintah Pusat membuat aturan teknis penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi/dokumen elektronik yang bermuatan TPKS melalui Peraturan Pemerintah dengan melibatkan korban dan pendamping selama ini;
  3. Mendorong pemerintah pusat dan DPR untuk merevisi pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE ataupun pasal UU ITE lainnya yang dapat mengkriminalisasi korban kekerasan seksual sebagai bentuk harmonisasi dalam UU TPKS;
  4. Pemerintah Pusat dan DPR melakukan harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang kekerasan seksual yang tersebar di luar UU TPKS dengan menjamin hak korban dan ragam jenis, cara, modus dan tujuannya sama didalam UU TPKS.

Categories
Kegiatan

Lindungi Korban, Jangan Hilangkan Harapan

Amicus Curiae dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Tanpa Kekerasan Seksual: Menolak Pengajuan Uji Materiil (Judicial Review) atas Permendikbud PPKS

Jakarta, Senin, 11 April 2022

Kasus kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi menjadi salah satu poin perhatian kami, YLBHI, ICJR. MaPPI FHUI, LBH APIK Jakarta, dan SAFEnet yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan tanpa Kekerasan. Selama ini, publik dihantui oleh tindakan kekerasan seksual yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Terlebih lagi, belum ada payung hukum yang sudah disahkan berpihak pada korban dan mengakomodir kebutuhan korban, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih berproses di DPR untuk disahkan.

Dengan masih berkembang pembahasan RUU TPKS di DPR, pada 2021 silam, publik kemudian mendapatkan angin segar dari hadirnya Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini merupakan wujud keberpihakan Negara pada banyaknya korban dari kasus kekerasan seksual khususnya dalam lingkup institusi perguruan tinggi.

Sayangnya, upaya baik dari pemerintah ini kemudian dimaknai berbeda bagi sebagian kelompok. Mereka melihat bahwa aturan ini dapat mengarah pada pembiaran terjadinya seks bebas, aborsi, pernikahan dini hingga asumsi perumusan peraturannya yang tidak berlandaskan ajaran agama dan kultur masyarakat Indonesia. Asumsi ini kemudian dituangkan dalam upaya hukum berupa Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Upaya hukum ini juga sudah dilayangkan dan sudah masuk dalam register No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung R.I.

Kami memandang bahwa permohonan uji materiil ini adalah salah satu langkah mundur terhadap upaya pencegahan dan pelindungan korban kekerasan sekual di lingkup perguruan Tinggi untuk mendapatkan kepastian hukum atas perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual. Mengingat beberapa alasan penting yaitu:

Pertama, Permendikbud 30/2021 telah disusun dengan memperhatikan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, Materi yang Dimuat dalam Permendikbud 30/2021 adalah Mengenai Kekerasan Seksual, sedangkan Materi Permohonan adalah Soal Menjaga Kesusilaan.

Ketiga, Pentingnya Konsepsi Persetujuan/Konsen Harus Menjadi Dasar Pengaturan tentang Kekerasan Seksual.

Keempat, Permendikbud 30/2021 Mengisi Kekosongan Hukum yang Ada.

Kelima, objek materi muatan pasal yang dimohonkan pemohon yang menjadi dasar adalah frasa “tanpa persetujuan” dan frasa “yang tidak disetujui” di dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m Permendikbud 30/2021. (Permohonan Uji Materiil Pemohon, poin VI.13), tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian pemohon dengan dan objek permohonan pemohon.

Oleh sebab itu, melalui Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ini, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Tanpa Kekerasan, mendukung dan mendorong kepada:

  1. Majelis Hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili  perkara dalam register No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung untuk menolak permohonan para Pemohon seluruhnya;
  2. Majelis Hakim  yang menangani register perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung, menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PERMA 3/2017, bahwa berdasarkan prinsip hak asasi manusia; kepentingan terbaik dan pemulihan Perempuan Berhadapan dengan Hukum; dan Analisis Gender, Permendikbud 30/2021 utamanya Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mengandung frasa redaksional “tanpa persetujuan” dan “yang tidak disetujui” tetap harus dimuat dalam Permendikbud 30/2021 untuk mendefinisikan kekerasan, untuk membedakan mana korban mana pelaku, dengan tujuan tak lain dan tak bukan untuk melindungi korban;
  3. Majelis Hakim yang menangani register perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung, menyatakan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Majelis Hakim yang menangani perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dasar Amicus Curiae (sahabat pengadilan) yang kami buat sebagai bentuk penggalian dan pemahaman nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  5. Mendorong Kementerian/Lembaga dan Perguruan Tinggi ikut terlibat aktif melakukan pemantauan perkembangan implementasi Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Categories
Kegiatan

Lawan KBGO Yang Merajalela, Peran Aparat Penegak Hukum Perlu Ditingkatkan

Siaran Pers Bersama
Jakarta, 10 Maret 2021

Lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tercatat signifikan selama masa pandemi COVID-19 di 2020. Berdasarkan Catatan Tahunan 2021 yang dirilis pada 5 Maret 2021, Komnas Perempuan menyebutkan mereka menerima sebanyak 940 kasus KBGO sepanjang 2020, yang menunjukkan peningkatan lebih dari 3x lipat dibanding 281 kasus di tahun sebelumnya. LBH APIK Jakarta juga menghadapi lonjakan kasus KBGO sebanyak 307 kasus sepanjang 2020, yang jelas meningkat dibandingkan 17 kasus KBGO dalam bentuk kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi digital yang diterima pada 2019.

Senada dengan Komnas Perempuan dan LBH APIK Jakarta, SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK) melihat peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten intim non-konsensual nyaris 400%. Sepanjang 2019, SAFEnet mendampingi 45 aduan terkait dengan penyebaran konten intim non-konsensual, jumlah ini meningkat menjadi 169 aduan hanya untuk periode Maret-Juni 2020 yang merupakan awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work from Home sebagai bagian dari penanganan COVID-19.

Salah satu tantangan yang menonjol dari peningkatan kasus KBGO ini adalah bahwa masyarakat masih memiliki keraguan untuk mencari keadilan melalui proses hukum dan situasi harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, di antaranya disebabkan kurangnya pemahaman tentang pasal-pasal hukum yang dapat melindungi mereka, alih-alih yang terlihat di publik adalah mudahnya korban untuk dikriminalisasi.

Selain itu, tantangan lain yang menonjol adalah belum terlihatnya kesigapan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus KBGO utamanya ketika pelaku memanfaatkan fitur anonim di media sosial untuk melakukan tindak kekerasannya, yang disebabkan karena akses pada alat pelacakan atau digital forensik, kapasitas SDM yang belum merata terkait penanganan kasus-kasus online, termasuk KBGO.

“Banyak tantangan yang dihadapi korban KBGO saat mencari keadilan melalui proses hukum, dan tantangan ini dari berbagai sisi, baik situasi mayoritas publik yang belum melek hukum, hingga aparat penegak hukum yang memiliki tantangannya tersendiri, seperti akses atau sumber daya yang terbatas,” ujar Kepala Sub-divisi Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma.

Untuk menjawab tantangan ini, SAFEnet melalui inisiatif Awas KBGO yang mendapatkan pendanaan dari Digital Access Programme Kedutaan Besar Inggris menerbitkan 2 (dua) buah panduan, yakni Panduan Aspek Hukum untuk Jerat Pelaku terkait ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual yang marak terjadi, serta Panduan Usut Informasi Pelaku KBGO di Platform Digital.

Ellen menjelaskan, “Penerbitan kedua panduan ini diharapkan dapat menjadi materi yang membuat masyarakat awam lebih familiar dengan proses hukum, dan juga jadi tahu bahwa ada berbagai pasal yang bisa membantu korban KBGO, terutama yang menghadapi ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual.”

Digital Access Programme Lead, Kedutaan Besar Inggris, Christopher Agass mengatakan, “Di Inggris, seperti di negara lain juga, kondisi COVID-19 menaikkan risiko yang telah ada terkait kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan, dan kejahatan online. Pemerintah Kerajaan Inggris Raya menyediakan bantuan dan dukungan melalui berbagai upaya yang terkait, dari melibatkan polisi, dukungan online dan kampanye, hingga telepon darurat dan pusat bantuan. Contohnya, kampanye Ask for ANI (Butuh Bantuan Darurat Segera) menyediakan ruang aman dan dukungan korban.

Inggris telah menyelesaikan tahap panggilan untuk pembuktian sebagai bagian dari konsultasi tertutup terkait Strategi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 2021-2024 yang akan mendukung penanganan risiko terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebagai ancaman kejahatan yang mengkhawatirkan. Inggris juga telah menyiapkan rencana aksi Laporan Resmi Kekerasan Berbasis Online yang mencakup wilayah kerja terkait masalah ini.”

Christopher menyebutkan, “Program Pemerintah Inggris Digital Access Programme di Indonesia dengan bangga mendukung SAFEnet dan organisasi Inggris, Get Safe Online untuk fokus memberikan dukungan terkait Kekerasan Berbasis Gender Online dan keamanan siber untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan risiko. Dengan kenaikan signifikan KBGO akibat pandemi, platform AwasKBGO dapat menyediakan panduan dan dukungan untuk korban dalam menjalani prosedur hukum dan berkontribusi dalam mengurangi kasus ancaman online lebih lanjut.”

Dalam Panduan Aspek Hukum untuk Jerat Pelaku dijelaskan berbagai unsur tindakan yang biasa menyertai ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual disertai dengan pasal-pasal yang sudah ada yang dapat digunakan korban untuk menuntut pelaku. Sedangkan pada Panduan Usut Informasi Pelaku KBGO di Platform Digital dijelaskan tentang salah satu kewenangan polisi untuk bisa melacak pelaku dengan meminta informasi yang dibutuhkan dari Platform Digital, seperti Facebook dan Instagram, Google, Tik Tok, Twitter, dan WhatsApp. Kedua panduan dapat diunduh dan melengkapi berbagai panduan yang sebelumnya sudah dipublikasikan Awas KBGO di https://awaskbgo.id/publikasi.

Peluncuran panduan ini dilakukan bersamaan dengan Webinar Lawan KBGO, Dorong Masyarakat Tingkatkan Peran Aparat Penegak Hukum pada 10 Maret 2021 yang dapat disaksikan di kanal YouTube Awas KBGO.

https://www.youtube.com/watch?v=g3lxrgH2mZg

“Selama ini korban berada pada situasi yang tidak menguntungkan saat mencari keadilan melalui jalur hukum. Kita harus mengubah hal ini, sehingga korban bisa mendapatkan support yang dibutuhkan dan lebih berdaya, karena tahu apa saja upaya yang bisa didorong ke aparat penegak hukum. Masyarakat harus didorong untuk lebih berani menggunakan jalur hukum, dan kepolisian harus meningkatkan kinerja mereka menangani KBGO,” pungkas Ellen.

Penerbitan panduan Awas KBGO ini juga mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan yang relevan, di antaranya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, serta LSM, LBH, dan Komunitas terkait, seperti Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), LBH Jakarta, LRC KJHAM Semarang.

Kontak
Email: [email protected]
Hotline: +62 811-9223-375

Categories
Kegiatan

Komnas Perempuan Mencatat Ada 15 Jenis Kekerasan Seksual!

Kekerasan seksual adalah bagian dari kekerasan berbasis gender yang harus kita pahami jenis atau bentuknya. Ada 15 jenis kekerasan seksual yang dicatat oleh Komnas Perempuan sejak 1998 hingga 2010.

Apa saja?

Simak penjelasan dari Andy Yentriyani, Ketua Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024. Mari dukung pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas)!

Categories
Kegiatan

Fenomena Kekerasan Seksual Terkini: Spill Case dan Online Redemption

https://www.youtube.com/watch?v=wbiaWOf-qHc&t=9s

🔊 Jika audio bermasalah, kami rekomendasikan untuk mengenakan headset.

Tantangan yang dihadapi korban kekerasan seksual begitu beragam. Untuk mendapatkan keadilan melalui jalur hukum begitu berat, sehingga korban, ataupun yang mendukung korban mencari jalan lain untuk mengadvokasinya melalui media sosial.

Situasi ini membuat fenomena baru seperti spill case dan online redemption.

Neqy, Founder @_perempuan_, menjelaskan fenomena spill case dan online redemption agar kita bisa memahami situasi dan risikonya.

Categories
Kegiatan

5 Langkah Berkencan Online dengan Aman dan Nyaman

Dating apps mungkin menjadi salah satu jawaban masalah percintaan modern. Tapi, bagi sebagian orang, bayang akan pelecehan seksual menghantui mereka saat menggunakan dating apps.

Berdasarkan riset Consumers’ Research (2016), sebanyak 57% perempuan melaporkan mereka mengalami perasaan dilecehkan saat menggunakan dating apps. Namun hanya 21% laki-laki mengalami hal yang sama.

Sementara itu, pelaporan kasus pelecehan tertinggi terjadi pada aplikasi Tinder.

Dating Apps adalah salah satu platform yang rawan menjadi ajang praktik kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi.

Hal tersebut karena tidak seperti kebanyakan jejaring sosial, situs kencan adalah tempat di mana pengguna bertujuan untuk bertemu dan berpotensi mendapatkan keintiman dari orang asing. Sementara situs lainnya menerapkan pengaturan privasi yang lebih ketat untuk pengamanan, di situs kencan online malah sebaliknya.

Meskipun tindak kekerasan dalam dunia kencan online tidak bisa dihapus 100%, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari kasus kekerasan yang difasilitasi teknologi tersebut.

1. Lindungi data pribadimu

Image for post

Ketika memutuskan untuk memiliki akun di aplikasi kencan, kamu harus tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dibagikan pada profil di aplikasi.

  • Jangan mencantumkan data pribadi dan petunjuk yang bisa langsung merujuk pada identitasmu, seperti nama lengkap, no handphone, apalagi nomor identitas.
  • Gunakan foto yang tidak terlalu eksplisit menunjukkan wajahmu. Pilih foto yang tidak pernah kamu gunakan di media sosial atau platform lainnya. Selain supaya tidak mudah dilacak, hal ini juga untuk mayakinkanmu bahwa calon pasanganmu tidak hanya melihatmu dari sebatas fisik.
  • Tidak perlu mengaitkan profil dengan akun media sosial atau platform lainnya.

2. Tetap di aplikasi

Image for post

Saat kamu sudah ‘match’ dengan orang yang menurutmu sangat menarik dan potensial untuk dijadikan teman kencan, lakukanlah perkenalan dan proses pendekatan hanya di aplikasi kencan. Jangan terburu-buru mengiyakan ketika diajak untuk pindah ke aplikasi percakapan seperti Line atau WhatsApp.

Hal ini perlu dilakukan demi menjamin keamanan data pribadimu serta agar lebih mudah untuk melaporkan akun tersebut melalui aplikasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Lakukan riset

Image for post

Mengobrolah dan bertukar informasi dengan intens. Jika memungkinkan, korek beberapa hal pribadi yang merujuk pada identitas calon pasanganmu, misalnya nama lengkap. Setelah itu, lakukanlah riset dengan mencari namanya di mesin pencarian. Carilah hal-hal yang berkaitannya dengan dan pastikan tidak ada hal-hal mecurigakan yang kamu temukan.

Jika calon pasanganmu tidak memiliki akun media sosial atau sulit untuk dilacak keberadaannya di internet, waspadalah. Hal tersebut bisa mengindikasikan dua hal: dia benar-benar orang yang tidak tersentuh internet, atau dia membohongimu dengan identitas palsu.

Pasalnya, jika seseorang yang memiliki rekam jejak yang buruk di dunia kencan, biasanya banyak ‘cuitan’ dan testimoni jelek yang merujuk pada namanya, dan mungkin hal tersebut ingin dia tutupi darimu.

Selain mencari informasi berdasarkan namanya, kamu juga bisa melakukan penelusuran untuk foto profilnya melalui google image. Pastikan apakah foto dan identitas yang diberikannya sama? Atau ada identitas lain dengan foto yang sama? Hal ini untuk memastikan dia tidak menggunakan foto orang lain di profilnya.

4. Tempat publik

Image for post

Jika hasil temuan dari riset yang kamu lakukan terasa aman dan natural, dan kemudian kalian memutuskan untuk kopi darat, lakukanlah di tempat umum. Misalnya kafe atau restoran, atau di tempat publik lainnya. Langkah ini bertujuan agar kamu lebih mudah untuk meminta pertolongan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jika perlu, beritahu sahabatmu kamu akan pergi dengan siapa dan berkencan di mana.

5. Beri kesempatan kedua

Image for post

Jika pada pertemuan pertama kamu tidak merasa nyaman, lebih baik segera berpindah hati. Namun, jika kamu merasa cocok, jangan terburu-buru untuk baper dan memutuskan melangkah ke jenjang yang lebih serius. Berikan dia kesempatan kedua, ketiga atau keempat untuk berkencan di tempat umum. Hal ini untuk menguji apakah dia juga memiliki perasaan yang sama padamu, serta untuk memastikan perasaamu padanya.

Jika semua cara di atas sudah dilakukan, dan kamu sudah merasa yakin atas perasaanmu, go ahead kalau kamu mau lanjut ke ‘level’ selanjutnya. Jangan lupa, kamu juga harus tetap berhati-hati dan bisa memetakan risiko yang mungkin terjadi, misalnya terjadi kekerasan dalam pacaran, toxic relationship, hingga risiko terjangkit penyakit menular seksual.

Tetaplah waspada dan menjaga diri saat bersenang-senang, because, online dating should be fun and safe!

Konten ini disusun oleh Nenden Sekar Arum dan Bimo Fundrika

Categories
Kegiatan

Hadapi Lonjakan Kasus Penyebaran Konten Intim, SAFEnet Luncurkan Buku Panduan dan Website Awas KBGO untuk Korban

Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2018-2020 menunjukkan lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), dari 65 kasus menjadi 97, dan terbaru mengalami lonjakan hingga 300% menjadi 281 kasus. Dari Catahu Komnas Perempuan selama 3 tahun ini yang mencolok adalah tindakan penyebaran konten intim non konsensual, atau yang kerap kali disebut sebagai revenge porn. Dari 33 aduan yang diterima pada 2017 melonjak jadi 91 aduan pada 2019.

Senada dengan catatan tersebut, SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK) dan Kampanye Awas KBGO yang diluncurkan sejak 26 November 2019 melihat tren peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten intim non konsensual.

Sepanjang 2019, SAFEnet mendampingi 60 aduan KBGO dan sebanyak 45 aduan terkait dengan penyebaran konten intim non konsensual. Namun, selama periode Maret-Juni 2020, terutama dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work from Home sebagai bagian dari penanganan COVID-19, aduan terkait penyebaran konten intim non konsensual melampaui tahun lalu, yaitu sebanyak 169 aduan atau meningkat nyaris 4 kali lipat.

Melihat situasi darurat seperti ini, SAFEnet bersama dengan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) berinisiatif menerbitkan “Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual” untuk membantu korban agar dapat segera mengambil tindakan bila menghadapinya.

“Buku panduan ini sekaligus sebagai bentuk edukasi publik atas tindak kekerasan penyebaran konten intim non konsensual yang sangat mungkin terjadi di sekitar kita,” sebut Ellen Kusuma selaku Kepala Subdivisi DARK. “Tidak hanya menyerang perempuan saja, penyebaran konten intim non-konsensual bisa terjadi pada siapa pun tanpa melihat gender maupun usianya.”

Justitia Avila Veda dari KAKG menambahkan, “Mayoritas aduan yang diterima KAKG berkaitan erat dengan ancaman penyebaran konten intim dan sextortion. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena tidak sedikit korbannya adalah anak di bawah umur.”

Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual ini dapat diunduh di website Awas KBGO yang diluncurkan di waktu yang sama. Beralamat di https://awaskbgo.id, website Awas KBGO menyediakan informasi-informasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia, termasuk layanan pengaduan.

“Misinya untuk menjadi pusat informasi dan advokasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia. Agar publik mendapatkan pengetahuan dan memudahkan korban mengakses bantuan yang dibutuhkan,” tutup Ellen Kusuma.

Peluncuran buku panduan dan website Awas KBGO ini dilakukan dalam Diskusi Online “Penanganan Penyebaran Konten Intim Non Konsensual” bersama Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan Kalis Mardiasih, Penulis dan Pemerhati Isu Gender. Diskusi tersebut dapat ditonton di kanal YouTube SAFEnet di https://s.id/youtubesafenet.

Jakarta, 3 Oktober 2020

Categories
Kegiatan

[Diskusi Online] Penanganan Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual

Buku panduan Penanganan Penyebaran Konten Intim Non-konsensual dapat diunduh di https://awaskbgo.id

Categories
Kegiatan

WfH Rentan Pelecehan Seksual, Perusahaan Didesak Buat Protokol Anti-Pelecehan Seksual

Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) dan Never Okay Project menemukan risiko pelecehan seksual yang terjadi saat kerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19. Temuan ini diungkap dalam publikasi hasil survei berjudul #NewAbnormal: Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work from Home (WfH).

Pandemi Covid-19 berdampak pada banyak hal, termasuk juga pada dunia kerja. Hal ini membuat sebagian besar sektor industri mengubah situasi kerja dan sistem kerja yang biasanya dilakukan secara tatap muka di kantor diganti dengan jarak jauh melalui bantuan teknologi komunikasi digital. Sayangnya, perubahan sistem kerja tersebut tidak diiringi instrumen pencegahan pelecehan seksual. Hal ini memunculkan dan menambah risiko dan pola-pola praktik pelecehan seksual melalui teknologi digital pada pekerja.

Dari survei online yang berlangsung 6 April hingga 19 April 2020 dengan 315 responden yang bekerja dari rumah terungkap sebanyak 86 orang responden di antaranya menjadi korban pelecehan seksual selama WfH berlangsung, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual.

“Risiko pelecehan seksual pada masa bekerja di rumah tetap tinggi karena tidak didukung dengan instrumen-instrumen keselamatan kerja, dalam hal ini kebijakan anti-pelecehan seksual. Dari survei kami, 85% perusahaan belum punya kebijakan pelecehan seksual selama WfH,” ujar Inisiator Never Okay Project Alvin Nicola.

“Ini terbukti dari temuan survei.” Alvin menyebutkan, “Mayoritas korban tidak lapor ke HRD. Ada 94% korban yang tidak percaya HRD akan berpihak dan melindunginya, dan sebesar 38% merasa HRD tidak akan melakukan apapun. Ada juga yang khawatir kariernya akan terpengaruh, khawatir tidak akan ada yang percaya padanya, sampai takut disalahkan atau kena victim blaming.”

Alvin juga memaparkan bahwa tidak hanya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Dari survei terungkap bahwa semua identitas gender dapat menjadi korban pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa relasi kerja di dalam perusahaan mempengaruhi kerentanan seseorang dalam mengalami pelecehan seksual. Alvin mengatakan bahwa mayoritas korban berada dalam status hubungan kerja sebagai tenaga kontrak, magang, dan staf, sedangkan di sisi lain, tidak ditemukan wirausaha yang pernah menjadi korban.

Survei ini juga menemukan pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja terjadi secara lintas platform digital yang digunakan untuk bekerja dengan frekuensi yang tidak sedikit. Sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di 2 sampai 7 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan kerja dari rumah.

Ellen Kusuma dari Digital At-Risks, SAFEnet mengungkapkan bahwa aplikasi pengiriman pesan, seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan lainnya, menjadi saluran paling sering digunakan pelaku untuk melakukan pelecehan seksual (40%), disusul dengan aplikasi media sosial (19%), aplikasi konferensi video (16%), aplikasi internal perusahaan (10%), email (7%), telepon (5%), dan SMS (3%).

“Dalam dunia kerja, teknologi komunikasi digital dan daring, seperti video konferensi dan aplikasi tukar pesan pada umumnya digunakan untuk kerja grup atau banyak orang sekaligus. Jika kemudian teknologi ini justru menjadi tempat pelecehan seksual terbanyak yang dialami oleh pekerja, artinya budaya pemakluman atau normalisasi terhadap bentuk pelecehan masih sangat kuat sehingga bisa dilakukan di dalam komunikasi grup, yang isinya rekan-rekan kerjanya sendiri.”

“Jangan sampai ini dibiarkan, dilanggengkan sebagai situasi yang ‘new normal’ ke depannya,” imbuhnya, “Ini situasi ‘new abnormal’.”

Lebih lanjut, Ellen menyampaikan survei ini juga menemukan 9 bentuk pelecehan seksual yang dialami korban. “Di antaranya dalam bentuk candaan atau lelucon seksual, atau dikirimkan konten multimedia, seperti foto, video, audio, pesan teks, atau stiker yang bernuansa seksual secara non-konsensual.

Ditambah lagi, semua kejadian ini bisa berlangsung di multi-platform. Kami menemukan 78% korban pernah mengalami pelecehan seksual di lebih dari dua platform.”

Berangkat dari temuan-temuan ini, Never Okay Project dan SAFEnet memberikan beberapa rekomendasi, yaitu kepada:

  1. Kementerian Ketenagakerjaan agar segera berkomitmen meratifikasi Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja agar para pekerja mendapatkan jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, terutama bagi pekerja-pekerja perempuan. Ratifikasi ini semakin mendesak karena hingga saat ini UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak mengatur kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
  2. Perusahaan agar segera merancang berbagai inisiatif dan strategi anti pelecehan seksual, terutama untuk situasi bekerja dari rumah, seperti memulai edukasi risiko pelecehan seksual, membangun instrumen kebijakan yang berperspektif korban, memperkuat mekanisme pengawasan kerja berbasis sanksi hingga merancang sistem dan mekanisme pengaduan kasus yang imparsial. Secara khusus, perusahaan perlu meninjau risiko pelecehan seksual di internal perusahaannya dan menaruh perhatian besar pada pelecehan seksual berbasis daring.
  3. Serikat pekerja atau serikat buruh agar mendorong terselenggaranya mekanisme tripartit yang melibatkan lembaga negara, perusahaan, dan serikat pekerja untuk memastikan keselamatan dan keamanan pekerja yang bekerja dari rumah, khususnya dari risiko praktik pelecehan seksual. Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga perlu menjadi inisiator wadah pelaporan kasus pelecehan seksual yang memihak pada korban.
  4. Pekerja agar mendesak agar perusahaan segera membangun inisiatif anti-pelecehan seksual, dan membangun solidaritas dengan menolak budaya normalisasi pelecehan. Pekerja juga secara strategis dapat membentuk koalisi sekutu korban dan saksi aktif dengan mengidentifikasi risiko-risiko pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.

Hasil survei selengkapnya dapat diunduh di http://bit.ly/wfhnopxsafenet

Categories
Kegiatan

[Diskusi Online] Bisakah Laki-laki jadi Sekutu dalam Upaya Stop Pelecehan Seksual?

Hey Folks! Keterlibatan laki-laki seringkali luput dalam upaya menghentikan pelecehan seksual. Lantas, bagaimana mestinya melibatkan mereka? Sekutu seperti apa yang dibutuhkan korban untuk mengakhiri pelecehan seksual?

Never Okay Project x SAFEnet x SINDIKASI akan mengulik isu tersebut dan berbagi tips aman terhindar dari pelecehan seksual saat kerja dari rumah.

You have successfully subscribed to the newsletter

There was an error while trying to send your request. Please try again.

Awas KBGO will use the information you provide on this form to be in touch with you and to provide updates and marketing.