Categories
Kegiatan

Setengah Hati Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam UU TPKS

Jakarta, 18 April 2022

LBH APIK Jakarta bersama SAFEnet mengapresiasi atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi sebuah Undang-Undang
dalam rapat Paripurna DPR RI antara DPR bersama Pemerintah pada Selasa, 12 April 2022
lalu.

Namun, kami menilai perlindungan hukum yang disediakan untuk korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik masih setengah hati. Pengaturan KSBE belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan oleh lembaga layanan.

UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan. Demikian pun, kami mencatat ada persoalan lain yang perlu diperhatikan, yakni tidak diaturnya secara spesifik mengenai perkosaan dan pemaksaan aborsi, serta pelindungan dan jaminan hukum bagi korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), atau yang biasa dikenal juga dengan istilah kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta setidaknya dalam kurun 4 tahun terakhir dari 2018-2021, telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis online (KSBO). SAFEnet sendiri mendokumentasikan 1.357 aduan kasus KBGO dari 2019-2021. Catatan ini tak berbeda jauh dari Komnas Perempuan yang mencatat 2.625 kasus KBGO dari tahun 2017-2020, yang selalu menunjukkan peningkatan jumah aduan dari tahun ke tahun. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2018-2020 melaporkan ada sebanyak 679 kasus kekerasan seksual berbasis online terhadap anak-anak dengan mayoritas korbannya anak perempuan. Data-data ini menegaskan bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan saja terfasilitasi tetapi beralih wujud dengan bantuan teknologi digital, mengingat pola patriarki dan relasi kuasa menjadi persoalan utama sesungguhnya.

Dampaknya adalah perempuan dan anak rentan menjadi korban, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali sehingga membuat korban mengalami trauma berkepanjangan yang berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi, hingga hak-hak sipil dan politiknya, termasuk juga mendapatkan stigma sosial.

Di dalam UU TPKS, KSBE diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) yang terkait dengan tindak pidana berupa perekaman/penggambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi/dokumen elektronik yang bermuatan seksual, juga penguntitan atau pelacakan yang menggunakan sistem elektronik pada orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, baik dengan pemerasan, pengancaman, atau memaksa, juga menyesatkan/memperdaya seseorang.

Namun, pengaturan KSBE belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan oleh lembaga layanan. Dari 9 bentuk KSBO yang pernah ditangani oleh LBH APIK Jakarta, masih ada 7 bentuk yang belum bisa terakomodir melalui UU TPKS, yakni Pembuatan Materi/Informasi Elektronik yang bernuansa seksual tanpa dikehendaki, Modifikasi materi/informasi yang bernuansa seksual, Penjualan materi/informasi elektronik yang bernuansa seksual, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual dan Perundungan Seksual berbasis elektronik. Senada dengan LBH APIK Jakarta, dari 14 bentuk KBGO yang diidentifikasi SAFEnet sepanjang 2021, bentuk seperti morphing (pengeditan/modifikasi) informasi/dokumen elektronik menjadi yang bermuatan seksual; atau doxing (penyebaran data pribadi) dengan nuansa atau muatan seksual; atau phishing (upaya rekaya sosial untuk mendapatkan data pribadi atau yang informasi yang sensitif) untuk tujuan melakukan kekerasan seksual belum terakomodir melalui pasal tersebut.

Selain itu, catatan refleksi kondisi penanganan kasus KSBO pada tahun 2021 oleh LBH APIK Jakarta terlihat kerangka hukum yang ada masih belum berpihak kepada korban, terutama ditemukan pengaturan yang terbatas dalam perundang-undangan mengenai KSBO, yang cenderung berpotensi mengkriminalisasi korban, misalnya pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE tentang larangan distribusi, transmisi dan dapat membuat diakses muatan kesusilaan. Belum adanya pasal pengakuan (bridging article) dalam UU TPKS yang menjamin tindak pidana KSBE wajib diproses dengan UU TPKS dan bukan pasal 27 ayat (1) UU ITE membuat pelindungan bagi kelompok rentan tidak akan optimal.

Oleh sebab itu, LBH APIK Jakarta dan SAFEnet mendorong kepada:

  1. Pemerintah Pusat membuat aturan teknis pelaksana UU TPKS dengan memperhatikan upaya pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan;
  2. Pemerintah Pusat membuat aturan teknis penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi/dokumen elektronik yang bermuatan TPKS melalui Peraturan Pemerintah dengan melibatkan korban dan pendamping selama ini;
  3. Mendorong pemerintah pusat dan DPR untuk merevisi pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE ataupun pasal UU ITE lainnya yang dapat mengkriminalisasi korban kekerasan seksual sebagai bentuk harmonisasi dalam UU TPKS;
  4. Pemerintah Pusat dan DPR melakukan harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang kekerasan seksual yang tersebar di luar UU TPKS dengan menjamin hak korban dan ragam jenis, cara, modus dan tujuannya sama didalam UU TPKS.

Categories
Kegiatan

Lindungi Korban, Jangan Hilangkan Harapan

Amicus Curiae dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Tanpa Kekerasan Seksual: Menolak Pengajuan Uji Materiil (Judicial Review) atas Permendikbud PPKS

Jakarta, Senin, 11 April 2022

Kasus kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi menjadi salah satu poin perhatian kami, YLBHI, ICJR. MaPPI FHUI, LBH APIK Jakarta, dan SAFEnet yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan tanpa Kekerasan. Selama ini, publik dihantui oleh tindakan kekerasan seksual yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Terlebih lagi, belum ada payung hukum yang sudah disahkan berpihak pada korban dan mengakomodir kebutuhan korban, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih berproses di DPR untuk disahkan.

Dengan masih berkembang pembahasan RUU TPKS di DPR, pada 2021 silam, publik kemudian mendapatkan angin segar dari hadirnya Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini merupakan wujud keberpihakan Negara pada banyaknya korban dari kasus kekerasan seksual khususnya dalam lingkup institusi perguruan tinggi.

Sayangnya, upaya baik dari pemerintah ini kemudian dimaknai berbeda bagi sebagian kelompok. Mereka melihat bahwa aturan ini dapat mengarah pada pembiaran terjadinya seks bebas, aborsi, pernikahan dini hingga asumsi perumusan peraturannya yang tidak berlandaskan ajaran agama dan kultur masyarakat Indonesia. Asumsi ini kemudian dituangkan dalam upaya hukum berupa Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Upaya hukum ini juga sudah dilayangkan dan sudah masuk dalam register No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung R.I.

Kami memandang bahwa permohonan uji materiil ini adalah salah satu langkah mundur terhadap upaya pencegahan dan pelindungan korban kekerasan sekual di lingkup perguruan Tinggi untuk mendapatkan kepastian hukum atas perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual. Mengingat beberapa alasan penting yaitu:

Pertama, Permendikbud 30/2021 telah disusun dengan memperhatikan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, Materi yang Dimuat dalam Permendikbud 30/2021 adalah Mengenai Kekerasan Seksual, sedangkan Materi Permohonan adalah Soal Menjaga Kesusilaan.

Ketiga, Pentingnya Konsepsi Persetujuan/Konsen Harus Menjadi Dasar Pengaturan tentang Kekerasan Seksual.

Keempat, Permendikbud 30/2021 Mengisi Kekosongan Hukum yang Ada.

Kelima, objek materi muatan pasal yang dimohonkan pemohon yang menjadi dasar adalah frasa “tanpa persetujuan” dan frasa “yang tidak disetujui” di dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m Permendikbud 30/2021. (Permohonan Uji Materiil Pemohon, poin VI.13), tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian pemohon dengan dan objek permohonan pemohon.

Oleh sebab itu, melalui Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ini, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Tanpa Kekerasan, mendukung dan mendorong kepada:

  1. Majelis Hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili  perkara dalam register No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung untuk menolak permohonan para Pemohon seluruhnya;
  2. Majelis Hakim  yang menangani register perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung, menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PERMA 3/2017, bahwa berdasarkan prinsip hak asasi manusia; kepentingan terbaik dan pemulihan Perempuan Berhadapan dengan Hukum; dan Analisis Gender, Permendikbud 30/2021 utamanya Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mengandung frasa redaksional “tanpa persetujuan” dan “yang tidak disetujui” tetap harus dimuat dalam Permendikbud 30/2021 untuk mendefinisikan kekerasan, untuk membedakan mana korban mana pelaku, dengan tujuan tak lain dan tak bukan untuk melindungi korban;
  3. Majelis Hakim yang menangani register perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung, menyatakan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Majelis Hakim yang menangani perkara No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dasar Amicus Curiae (sahabat pengadilan) yang kami buat sebagai bentuk penggalian dan pemahaman nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  5. Mendorong Kementerian/Lembaga dan Perguruan Tinggi ikut terlibat aktif melakukan pemantauan perkembangan implementasi Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Categories
Kegiatan

Pernyataan Sikap atas Update Terbaru Kasus GH (12 Feb 2022)

Kami Menghargai Keputusan yang Diambil oleh Pihak yang Sebelumnya Kami Advokasi

Pada 11 Februari pukul 20.54, akun Twitter @quweenjojo membuat utas yang menyampaikan bahwa ia telah melakukan tuduhan yang tidak benar pada terduga pelaku.

Berikut adalah hal yang dapat kami sampaikan ke publik berdasarkan diskusi bersama dengan pihak-pihak yang kami dampingi.

Bahwa oleh LBH APIK Jakarta dan SAFEnet telah dilakukan:

1. Rujukan konseling psikologi pada korban dan saksi pada Agustus 2021

2. Rapat Koordinasi Kasus bersama Aparat Penegak Hukum pada Juli 2021

3. Pelaporan ke Kepolisian pada Agustus 2021

4. Koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Oktober 2021

Pada 10 Februari 2022, LBH APIK Jakarta menerima permohonan pencabutan kuasa hukum dari salah satu korban yang kami dampingi. Kami menghargai permohonan dan keputusannya terlepas dari apapun alasan yang dimiliki korban saat itu dan tindakan yang diambil setelahnya.

Namun, pada 12 Februari 2022 berdasarkan pernyataan akun Twitter @pergijauh melalui utas muncul fakta bahwa pada 10 Februari 2022 telah dilakukan mediasi di kepolisian bersama dengan GH.

Sekali lagi kami sampaikan, bahwa ini terjadi di hari yang sama dengan permohonan pencabutan surat kuasa yang kami sampaikan di atas.

Kami masih berjalan bersama dengan korban dan saksi lainnya. Oleh karenanya, kami meminta kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat, termasuk pihak dalam pendampingan psikologi, pelaporan dan koordinasi ke kepolisian, serta LPSK untuk:

1. Menjaga kerahasiaan data pribadi dari korban dan saksi

2. Menghormati persetujuan (konsen) dari korban dan saksi terkait dengan update yang disampaikan ke publik.

Mohon dukungan dari masyarakat untuk tetap berpihak pada korban.

Kami juga meminta para pihak lain untuk tidak mendesak korban memberikan penjelasan kepada publik, dan memberikan ruang untuk para korban berproses dengan pengalaman kekerasan seksual yang telah dialami dan perjalanan untuk pemulihan dan keadilan.

Kami akan selalu berpihak pada korban.

Kami akan selalu berpihak pada pengalaman dan perjalanan korban mencari jalan terbaik untuk pemulihan mereka.

Kami mendesak kehadiran negara dalam pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban dengan segala kompleksitas pengalaman korban.

Hormat kami,

LBH APIK Jakarta dan SAFEnet

12 Februari 2022

Categories
Kegiatan

Lawan KBGO Yang Merajalela, Peran Aparat Penegak Hukum Perlu Ditingkatkan

Siaran Pers Bersama
Jakarta, 10 Maret 2021

Lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tercatat signifikan selama masa pandemi COVID-19 di 2020. Berdasarkan Catatan Tahunan 2021 yang dirilis pada 5 Maret 2021, Komnas Perempuan menyebutkan mereka menerima sebanyak 940 kasus KBGO sepanjang 2020, yang menunjukkan peningkatan lebih dari 3x lipat dibanding 281 kasus di tahun sebelumnya. LBH APIK Jakarta juga menghadapi lonjakan kasus KBGO sebanyak 307 kasus sepanjang 2020, yang jelas meningkat dibandingkan 17 kasus KBGO dalam bentuk kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi digital yang diterima pada 2019.

Senada dengan Komnas Perempuan dan LBH APIK Jakarta, SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK) melihat peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten intim non-konsensual nyaris 400%. Sepanjang 2019, SAFEnet mendampingi 45 aduan terkait dengan penyebaran konten intim non-konsensual, jumlah ini meningkat menjadi 169 aduan hanya untuk periode Maret-Juni 2020 yang merupakan awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work from Home sebagai bagian dari penanganan COVID-19.

Salah satu tantangan yang menonjol dari peningkatan kasus KBGO ini adalah bahwa masyarakat masih memiliki keraguan untuk mencari keadilan melalui proses hukum dan situasi harus berhadapan dengan aparat penegak hukum, di antaranya disebabkan kurangnya pemahaman tentang pasal-pasal hukum yang dapat melindungi mereka, alih-alih yang terlihat di publik adalah mudahnya korban untuk dikriminalisasi.

Selain itu, tantangan lain yang menonjol adalah belum terlihatnya kesigapan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus KBGO utamanya ketika pelaku memanfaatkan fitur anonim di media sosial untuk melakukan tindak kekerasannya, yang disebabkan karena akses pada alat pelacakan atau digital forensik, kapasitas SDM yang belum merata terkait penanganan kasus-kasus online, termasuk KBGO.

“Banyak tantangan yang dihadapi korban KBGO saat mencari keadilan melalui proses hukum, dan tantangan ini dari berbagai sisi, baik situasi mayoritas publik yang belum melek hukum, hingga aparat penegak hukum yang memiliki tantangannya tersendiri, seperti akses atau sumber daya yang terbatas,” ujar Kepala Sub-divisi Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma.

Untuk menjawab tantangan ini, SAFEnet melalui inisiatif Awas KBGO yang mendapatkan pendanaan dari Digital Access Programme Kedutaan Besar Inggris menerbitkan 2 (dua) buah panduan, yakni Panduan Aspek Hukum untuk Jerat Pelaku terkait ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual yang marak terjadi, serta Panduan Usut Informasi Pelaku KBGO di Platform Digital.

Ellen menjelaskan, “Penerbitan kedua panduan ini diharapkan dapat menjadi materi yang membuat masyarakat awam lebih familiar dengan proses hukum, dan juga jadi tahu bahwa ada berbagai pasal yang bisa membantu korban KBGO, terutama yang menghadapi ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual.”

Digital Access Programme Lead, Kedutaan Besar Inggris, Christopher Agass mengatakan, “Di Inggris, seperti di negara lain juga, kondisi COVID-19 menaikkan risiko yang telah ada terkait kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan, dan kejahatan online. Pemerintah Kerajaan Inggris Raya menyediakan bantuan dan dukungan melalui berbagai upaya yang terkait, dari melibatkan polisi, dukungan online dan kampanye, hingga telepon darurat dan pusat bantuan. Contohnya, kampanye Ask for ANI (Butuh Bantuan Darurat Segera) menyediakan ruang aman dan dukungan korban.

Inggris telah menyelesaikan tahap panggilan untuk pembuktian sebagai bagian dari konsultasi tertutup terkait Strategi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 2021-2024 yang akan mendukung penanganan risiko terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebagai ancaman kejahatan yang mengkhawatirkan. Inggris juga telah menyiapkan rencana aksi Laporan Resmi Kekerasan Berbasis Online yang mencakup wilayah kerja terkait masalah ini.”

Christopher menyebutkan, “Program Pemerintah Inggris Digital Access Programme di Indonesia dengan bangga mendukung SAFEnet dan organisasi Inggris, Get Safe Online untuk fokus memberikan dukungan terkait Kekerasan Berbasis Gender Online dan keamanan siber untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan risiko. Dengan kenaikan signifikan KBGO akibat pandemi, platform AwasKBGO dapat menyediakan panduan dan dukungan untuk korban dalam menjalani prosedur hukum dan berkontribusi dalam mengurangi kasus ancaman online lebih lanjut.”

Dalam Panduan Aspek Hukum untuk Jerat Pelaku dijelaskan berbagai unsur tindakan yang biasa menyertai ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual disertai dengan pasal-pasal yang sudah ada yang dapat digunakan korban untuk menuntut pelaku. Sedangkan pada Panduan Usut Informasi Pelaku KBGO di Platform Digital dijelaskan tentang salah satu kewenangan polisi untuk bisa melacak pelaku dengan meminta informasi yang dibutuhkan dari Platform Digital, seperti Facebook dan Instagram, Google, Tik Tok, Twitter, dan WhatsApp. Kedua panduan dapat diunduh dan melengkapi berbagai panduan yang sebelumnya sudah dipublikasikan Awas KBGO di https://awaskbgo.id/publikasi.

Peluncuran panduan ini dilakukan bersamaan dengan Webinar Lawan KBGO, Dorong Masyarakat Tingkatkan Peran Aparat Penegak Hukum pada 10 Maret 2021 yang dapat disaksikan di kanal YouTube Awas KBGO.

“Selama ini korban berada pada situasi yang tidak menguntungkan saat mencari keadilan melalui jalur hukum. Kita harus mengubah hal ini, sehingga korban bisa mendapatkan support yang dibutuhkan dan lebih berdaya, karena tahu apa saja upaya yang bisa didorong ke aparat penegak hukum. Masyarakat harus didorong untuk lebih berani menggunakan jalur hukum, dan kepolisian harus meningkatkan kinerja mereka menangani KBGO,” pungkas Ellen.

Penerbitan panduan Awas KBGO ini juga mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan yang relevan, di antaranya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, serta LSM, LBH, dan Komunitas terkait, seperti Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), LBH Jakarta, LRC KJHAM Semarang.

Kontak
Email: [email protected]
Hotline: +62 811-9223-375

Categories
Kegiatan

Hadapi Lonjakan Kasus Penyebaran Konten Intim, SAFEnet Luncurkan Buku Panduan dan Website Awas KBGO untuk Korban

Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2018-2020 menunjukkan lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), dari 65 kasus menjadi 97, dan terbaru mengalami lonjakan hingga 300% menjadi 281 kasus. Dari Catahu Komnas Perempuan selama 3 tahun ini yang mencolok adalah tindakan penyebaran konten intim non konsensual, atau yang kerap kali disebut sebagai revenge porn. Dari 33 aduan yang diterima pada 2017 melonjak jadi 91 aduan pada 2019.

Senada dengan catatan tersebut, SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK) dan Kampanye Awas KBGO yang diluncurkan sejak 26 November 2019 melihat tren peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten intim non konsensual.

Sepanjang 2019, SAFEnet mendampingi 60 aduan KBGO dan sebanyak 45 aduan terkait dengan penyebaran konten intim non konsensual. Namun, selama periode Maret-Juni 2020, terutama dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work from Home sebagai bagian dari penanganan COVID-19, aduan terkait penyebaran konten intim non konsensual melampaui tahun lalu, yaitu sebanyak 169 aduan atau meningkat nyaris 4 kali lipat.

Melihat situasi darurat seperti ini, SAFEnet bersama dengan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) berinisiatif menerbitkan “Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual” untuk membantu korban agar dapat segera mengambil tindakan bila menghadapinya.

“Buku panduan ini sekaligus sebagai bentuk edukasi publik atas tindak kekerasan penyebaran konten intim non konsensual yang sangat mungkin terjadi di sekitar kita,” sebut Ellen Kusuma selaku Kepala Subdivisi DARK. “Tidak hanya menyerang perempuan saja, penyebaran konten intim non-konsensual bisa terjadi pada siapa pun tanpa melihat gender maupun usianya.”

Justitia Avila Veda dari KAKG menambahkan, “Mayoritas aduan yang diterima KAKG berkaitan erat dengan ancaman penyebaran konten intim dan sextortion. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena tidak sedikit korbannya adalah anak di bawah umur.”

Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual ini dapat diunduh di website Awas KBGO yang diluncurkan di waktu yang sama. Beralamat di https://awaskbgo.id, website Awas KBGO menyediakan informasi-informasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia, termasuk layanan pengaduan.

“Misinya untuk menjadi pusat informasi dan advokasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia. Agar publik mendapatkan pengetahuan dan memudahkan korban mengakses bantuan yang dibutuhkan,” tutup Ellen Kusuma.

Peluncuran buku panduan dan website Awas KBGO ini dilakukan dalam Diskusi Online “Penanganan Penyebaran Konten Intim Non Konsensual” bersama Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan Kalis Mardiasih, Penulis dan Pemerhati Isu Gender. Diskusi tersebut dapat ditonton di kanal YouTube SAFEnet di https://s.id/youtubesafenet.

Jakarta, 3 Oktober 2020

Categories
Kegiatan

WfH Rentan Pelecehan Seksual, Perusahaan Didesak Buat Protokol Anti-Pelecehan Seksual

Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) dan Never Okay Project menemukan risiko pelecehan seksual yang terjadi saat kerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19. Temuan ini diungkap dalam publikasi hasil survei berjudul #NewAbnormal: Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work from Home (WfH).

Pandemi Covid-19 berdampak pada banyak hal, termasuk juga pada dunia kerja. Hal ini membuat sebagian besar sektor industri mengubah situasi kerja dan sistem kerja yang biasanya dilakukan secara tatap muka di kantor diganti dengan jarak jauh melalui bantuan teknologi komunikasi digital. Sayangnya, perubahan sistem kerja tersebut tidak diiringi instrumen pencegahan pelecehan seksual. Hal ini memunculkan dan menambah risiko dan pola-pola praktik pelecehan seksual melalui teknologi digital pada pekerja.

Dari survei online yang berlangsung 6 April hingga 19 April 2020 dengan 315 responden yang bekerja dari rumah terungkap sebanyak 86 orang responden di antaranya menjadi korban pelecehan seksual selama WfH berlangsung, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual.

“Risiko pelecehan seksual pada masa bekerja di rumah tetap tinggi karena tidak didukung dengan instrumen-instrumen keselamatan kerja, dalam hal ini kebijakan anti-pelecehan seksual. Dari survei kami, 85% perusahaan belum punya kebijakan pelecehan seksual selama WfH,” ujar Inisiator Never Okay Project Alvin Nicola.

“Ini terbukti dari temuan survei.” Alvin menyebutkan, “Mayoritas korban tidak lapor ke HRD. Ada 94% korban yang tidak percaya HRD akan berpihak dan melindunginya, dan sebesar 38% merasa HRD tidak akan melakukan apapun. Ada juga yang khawatir kariernya akan terpengaruh, khawatir tidak akan ada yang percaya padanya, sampai takut disalahkan atau kena victim blaming.”

Alvin juga memaparkan bahwa tidak hanya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Dari survei terungkap bahwa semua identitas gender dapat menjadi korban pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa relasi kerja di dalam perusahaan mempengaruhi kerentanan seseorang dalam mengalami pelecehan seksual. Alvin mengatakan bahwa mayoritas korban berada dalam status hubungan kerja sebagai tenaga kontrak, magang, dan staf, sedangkan di sisi lain, tidak ditemukan wirausaha yang pernah menjadi korban.

Survei ini juga menemukan pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja terjadi secara lintas platform digital yang digunakan untuk bekerja dengan frekuensi yang tidak sedikit. Sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di 2 sampai 7 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan kerja dari rumah.

Ellen Kusuma dari Digital At-Risks, SAFEnet mengungkapkan bahwa aplikasi pengiriman pesan, seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan lainnya, menjadi saluran paling sering digunakan pelaku untuk melakukan pelecehan seksual (40%), disusul dengan aplikasi media sosial (19%), aplikasi konferensi video (16%), aplikasi internal perusahaan (10%), email (7%), telepon (5%), dan SMS (3%).

“Dalam dunia kerja, teknologi komunikasi digital dan daring, seperti video konferensi dan aplikasi tukar pesan pada umumnya digunakan untuk kerja grup atau banyak orang sekaligus. Jika kemudian teknologi ini justru menjadi tempat pelecehan seksual terbanyak yang dialami oleh pekerja, artinya budaya pemakluman atau normalisasi terhadap bentuk pelecehan masih sangat kuat sehingga bisa dilakukan di dalam komunikasi grup, yang isinya rekan-rekan kerjanya sendiri.”

“Jangan sampai ini dibiarkan, dilanggengkan sebagai situasi yang ‘new normal’ ke depannya,” imbuhnya, “Ini situasi ‘new abnormal’.”

Lebih lanjut, Ellen menyampaikan survei ini juga menemukan 9 bentuk pelecehan seksual yang dialami korban. “Di antaranya dalam bentuk candaan atau lelucon seksual, atau dikirimkan konten multimedia, seperti foto, video, audio, pesan teks, atau stiker yang bernuansa seksual secara non-konsensual.

Ditambah lagi, semua kejadian ini bisa berlangsung di multi-platform. Kami menemukan 78% korban pernah mengalami pelecehan seksual di lebih dari dua platform.”

Berangkat dari temuan-temuan ini, Never Okay Project dan SAFEnet memberikan beberapa rekomendasi, yaitu kepada:

  1. Kementerian Ketenagakerjaan agar segera berkomitmen meratifikasi Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja agar para pekerja mendapatkan jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, terutama bagi pekerja-pekerja perempuan. Ratifikasi ini semakin mendesak karena hingga saat ini UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak mengatur kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
  2. Perusahaan agar segera merancang berbagai inisiatif dan strategi anti pelecehan seksual, terutama untuk situasi bekerja dari rumah, seperti memulai edukasi risiko pelecehan seksual, membangun instrumen kebijakan yang berperspektif korban, memperkuat mekanisme pengawasan kerja berbasis sanksi hingga merancang sistem dan mekanisme pengaduan kasus yang imparsial. Secara khusus, perusahaan perlu meninjau risiko pelecehan seksual di internal perusahaannya dan menaruh perhatian besar pada pelecehan seksual berbasis daring.
  3. Serikat pekerja atau serikat buruh agar mendorong terselenggaranya mekanisme tripartit yang melibatkan lembaga negara, perusahaan, dan serikat pekerja untuk memastikan keselamatan dan keamanan pekerja yang bekerja dari rumah, khususnya dari risiko praktik pelecehan seksual. Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga perlu menjadi inisiator wadah pelaporan kasus pelecehan seksual yang memihak pada korban.
  4. Pekerja agar mendesak agar perusahaan segera membangun inisiatif anti-pelecehan seksual, dan membangun solidaritas dengan menolak budaya normalisasi pelecehan. Pekerja juga secara strategis dapat membentuk koalisi sekutu korban dan saksi aktif dengan mengidentifikasi risiko-risiko pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.

Hasil survei selengkapnya dapat diunduh di 

Categories
Kegiatan

#AwasKBGO: Kampanye SAFEnet untuk 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Hari ini adalah peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network turut berpartisipasi selama 16 hari ke depan dengan kembali menyoroti kasus-kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) dalam kampanye online #AwasKBGO.

Kampanye ini bertujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman pada publik untuk mengenali, mencegah, dan menyikapi kekerasan berbasis gender online melalui konten-konten di media sosial.

Dalam Catatan Tahunan 2019 yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jenis kasus kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2018, ada 97 aduan kasus Kekerasan terhadap Perempuan di dunia siber dengan 125 jenis kekerasan siber. Tahun sebelumnya ada 65 aduan kasus dengan 95 jenis kekerasan siber.

Kondisi ini semakin miris bila memperhatikan bahwa pelakunya didominasi orang-orang terdekat (61%), seperti pacar, mantan pacar, suami, atau mantan suami. Sementara sisanya dilakukan oleh orang lain, mulai dari teman, kenalan, bahkan orang yang tidak dikenal.

“Sayangnya, kesadaran masyarakat tentang cara mengenali dan mencegah kekerasan berbasis gender online terbilang rendah. Kasus Baiq Nuril yang hampir dikriminalisasi setelah melaporkan pelecehan seksual non-fisik, menjadi contoh penegakan hukum yang ada belum berpihak pada korban,” ungkap Bimo Fundrika dari Divisi Digital At-Risk.

Tahun ini, secara spesifik Divisi Digital At-Risk menyoroti bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang sering terjadi melalui aplikasi kencan dan juga dalam sebuah hubungan yang konteksnya dengan penggunaan teknologi.

“Salah satu alasan kami menyoroti penggunaan aplikasi kencan online, karena sepertiga orang Indonesia telah menggunakan internet dan aplikasi kencan online. Bahkan menurut data YouGov pada 2017, secara spesifik jumlah pengguna di kalangan milenial tumbuh sebesar 36 persen,” kata Bimo.

Meningkatnya penggunaan aplikasi kencan online ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diperhatikan. Kemajuan teknologi memang membawa kemudahan tetapi tanpa disertai pengetahuan tentang privasi dan keamanan digital yang memadai oleh penggunanya, teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender, yang seringkali tidak ada satu cara manjur atau solusi untuk menghadapi dan menanganinya.

Selain melalui kampanye online #AwasKBGO, SAFEnet bekerja sama dengan inisiatif Beda Itu Biasa untuk melaksanakan pelatihan Mengenali dan Mencegah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di program Kelas Setiap Hari pada 3 Desember 2019 nanti. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas perempuan dalam upaya mencegah kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Sebelumnya, SAFEnet telah merilis “Panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online” yang dapat diunduh melalui tautan awaskbgo/ncii.

Untuk info lebih lanjut mengenai kampanye ini, silakan kontak Hotline SAFEnet di 0811-9223-375 atau melalui email di [email protected].

Salam #16HAKTP #GerakBersama #AwasKBGO
Bimo Fundrika, Divisi Digital At-Risk


Divisi Digital At-Risk adalah tim di dalam SAFEnet yang fokus dengan isu kekerasan berbasis gender online. Aktivitas Divisi Digital At-Risk meliputi advokasi kebijakan, edukasi dan literasi mengenai KBGO serta privasi dan keamanan digital, dan penanganan kasus KBGO dalam kemitraan bersama Komnas Perempuan.

Categories
Kegiatan

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Marak, RUU PKS Jangan Sampai Mangkrak

Tahun 2009, sebuah kasus impersonasi menimpa mahasiswi perguruan tinggi ternama di Jakarta. Foto-foto dari akun Facebook-nya dicuri dan diunggah sebagai foto prostitusi yang menawarkan jasanya di Blogspot, berikut ditulis dengan nomor ponsel pribadinya. Reputasinya rusak, martabatnya dilecehkan oleh impersonatornya. Tidak kurang, ia masih harus menghadapi banyaknya telepon yang menanyakan “jasa prostitusinya”.

Kasus ini selesai tanpa masuk ke ranah hukum. Saat itu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) baru memasuki tahun pertama. Jika menggunakan Pasal 27 Ayat 1 terkait konten yang melanggar kesusilaan, bisa saja diproses, tapi kerumitan kasus dengan data dan foto yang diunggah berada di luar ranah Indonesia membuat advokasi kasus ini berujung pada pelaporan konten dan penutupan akun impersonator tersebut dari platform Blogspot (Sumber: Inet Detikcom, 23 Februari 2009).

Hampir satu dekade kemudian, pasal 27 ayat 1 UU ITE justru menjadi pasal yang menjerat Baiq Nuril, korban pelecehan seksual secara verbal oleh pelaku yang merupakan atasannya sendiri. Inisiatif Baiq Nuril untuk merekam percakapan cabul yang melecehkan membuat ia harus ditahan selama 25 hari di tahun 2017.

Ibu Nuril yang sudah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram itu lantas mendapatkan perhatian dan dukungan dari publik karena Mahkamah Agung balik memutus Ibu Nuril bersalah dalam proses kasasi. Update terakhir dalam upaya mencari novum (bukti baru), gugatan Ibu Nuril atas tindak pencabulan yang dilakukan atasannya justru gugur dikarenakan pihak kepolisian tidak menemukan adanya tindak pencabulan dari bukti berupa rekaman percakapan antara Ibu Nuril dan atasannya, dengan alasan tidak ada pelecehan seksual yang terjadi.

Di sisi lain Komnas Perempuan menemukan adanya lonjakan kasus-kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), utamanya kasus revenge porn atau pornografi balas dendam, yang seringkali justru menimpa anak-anak usia remaja. Pada 2017 ada 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Bentuk-bentuknya berupa pendekatan untuk memperdaya (cyber-grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

Tidak hanya menimpa perempuan saja, kaum rentan seperti LGBT juga kerap kali mengalami KBGO, salah satunya dalam bentuk pelecehan online atau perundungan siber.

SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara melihat bahwa kekerasan berbasis gender di ranah online atau yang difasilitasi teknologi belum mendapatkan perlindungan di Indonesia. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban KBGO justru rentan diperkarakan kembali oleh pelakunya dan terancam hukuman pidana.

Oleh karenanya, SAFEnet mendorong:

1. Pemerintah untuk menjamin perlindungan korban KBGO

2. Pemerintah dan DPR untuk merumuskan KBGO sebagai pasal yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

3. Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

4. Aparat penegak hukum untuk memperhatikan kasus KBGO secara kontekstual, menindak tegas pelaku KBGO, dan tidak membuat korban sebenarnya menjadi korban dua kali dalam proses penegakan keadilan

5. Publik untuk tetap menghormati hak-hak digital sesama pengguna internet, termasuk hak atas rasa aman bagi perempuan dan kaum rentan.

Demikian rilis pers ini kami sampaikan agar dapat disebarkan seluas-luasnya.

Jakarta, 28 Januari 2019

Boaz Simanjuntak

Kepala Divisi Online Safety

You have successfully subscribed to the newsletter

There was an error while trying to send your request. Please try again.

Awas KBGO will use the information you provide on this form to be in touch with you and to provide updates and marketing.